top of page
Gambar penulisSarwono Kusumaatmadja

Ketahanan Pangan dan Perubahan Iklim



I. Disrupsi dan Dekonstruksi


Jika kita melihat kecenderungan besar yang terjadi di dunia dewasa ini, maka

perkembangan-perkembangan yang mempunyai dampak global dan sekaligus lokal adalah, pertama, perubahan iklim yang telah mengalami akselerasi setidaknya lima tahun belakangan ini, sehingga mengalami transformasi sebagai bencana iklim global. Dewasa ini terjadi bencana hidro-meteorologi yang sebaran dan intensitasnya berdampak masif. Sebaliknya, terjadi juga kekeringan panjang di berbagai wilayah dunia, yang memicu kebakaran hutan, kelaparan, konflik, dan migrasi penduduk besar-besaran.


Kedua, pandemi Covid-19 yang bermula terjadi di Wuhan, Tiongkok pada awal tahun 2020, telah berkembang mendunia dan menciptakan berbagai varian baru, antara lain Delta, dan dewasa ini yang terkini adalah varian yang disebut Omicron. Walaupun kita patut bersyukur bahwa Indonesia termasuk negara yang mampu mengendalikan pandemi Covid-19 dengan baik, namun akhir dari pandemi belum dapat diperkirakan sehingga kewaspadaan perlu terus dijaga.


Ketiga, perubahan-perubahan dalam perimbangan dan relasi antar-bangsa yang antara lain disebabkan oleh bencana iklim global dan juga pandemi yang membawa dampak sosial ekonomi dan politik. Keempat, Perubahan-perubahan relasi antar aktor negara dan aktor non-negara yang disebabkan oleh penggunaan teknologi informatika digital yang meluas, sehingga power relationship antara aktor negara dan aktor non-negara juga berubah.


Semua hal di atas telah menghidupkan kembali instumen analisis tentang kedaruratan yang disebut VUCA, yang pertama kali digunakan pada tahun 1987 dan kemudian digunakan di kalangan intelijen militer secara terbatas. VUCA adalah singkatan dari volatile: bergejolak; unpredictable: tidak bisa diduga; complex: kompleks, ruwet; dan ambiguous: tanpa bentuk/tidak jelas.


Khusus yang menyangkut perkembangan teknologi informatika digital dengan berbagai aplikasi yang meluas, VUCA juga melahirkan suatu gejala yang disebut sebagai hyper connectivity atau konektivitas yang berlebihan. Ditandai oleh aspek positif maupun negatif dari konektivitas yang meluas tersebut, terutama aplikasi kecerdasan buatan.


Semua tampilan di atas menciptakan suatu gejala yang disebut disrupsi, yaitu gangguan-gangguan terhadap pola interaksi antar lembaga sehingga dunia berada dalam situasi kacau yang belum terlihat jalan keluarnya. Sering kita mendengar anjuran agar kita bersikap berkepala dingin dan mengambil keputusan berdasar bukti (evidence based) serta berdasar fakta keilmuan (science based).


Namun dalam prakteknya, menyusun fakta berdasarkan bukti dan keilmuan juga melahirkan kontroversi. Berbagai disrupsi yang terjadi dalam skala dan dampak yang berbeda tersebut di atas, menandakan bahwa peradaban manusia sedang mengalami dekonstruksi. Belum ada metode futurologi yang handal untuk memperkirakan kapan peradaban baru akan menjelma dan bagaimana sosok perubahan tersebut. Namun demikian, ada hal-hal esensial yang perlu dilakukan menyangkut kebutuhan dasar manusia, yaitu apa yang menjadi judul tulisan ini: ketahanan pangan dan perubahan iklim.

II. FEW in ONE Berbasis Masyarakat Lokal

Ketahanan pangan dapat didefinisikan sebagai kecukupan pangan yang berkelanjutan. Istilah kecukupan pangan dapat didefinisikan sebagai ketersediaan pangan dalam kurun waktu tertentu. Karena ketahanan pangan memuat dimensi berkelanjutan, maka dengan sendirinya terkait dengan pengendalian perubahan iklim. Dalam kaitan ini, ketahanan pangan berhubungan dengan ketahanan iklim, yaitu: pengendalian emisi gas rumah kaca yang memperlakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara setara dan berimbang.


Ketahanan pangan tidak berdiri sendiri, namun terkait dengan ketersediaan air dan energi, sehingga ketahanan pangan merupakan kesatuan yang utuh

dengan ketersediaan air dan energi tersebut. Jika kita menggunakan bahasa Inggris, kita bisa gunakan semboyan FEW in ONE: food, energy, and water in one. Tentu timbul persoalan berikut, yaitu di mana FEW in ONE ini harus terjadi dalam situasi di mana disrupsi dan dekonstruksi terjadi di mana-mana.


Sama halnya, ketahanan pangan yang berkelanjutan dalam suasana perubahan iklim perlu diwujudkan di tingkat lokal. Pengertian lokal, adalah suatu lokasi di mana terdapat tatanan sosial yang mempunyai kohesi kuat. Dengan demikian tidak dengan sendirinya lokal serta-merta diartikan sebagai desa dalam pengertian administratif. Tatanan lokal bisa diartikan sebagai kasepuhan, nagari, masyarakat adat, dusun, kampung, pesantren, dan indikator utamanya adalah terdapatnya kohesi sosial sebagai modal dasar penyelenggaraan program ketahanan pangan dalam era perubahan iklim.


Sama dengan program ketahanan pangan, ketahanan iklim di tingkat lokal adalah suatu aksi yang dapat dilakukan dan segera membuahkan hasil, yaitu terkendalinya iklim secara lokal, biasa disebut sebagai pengendalian iklim mikro (micro climate management). Persediaan air secara lokal adalah contoh dari upaya pengendalian iklim mikro. Secara strategis dan jangka panjang, penyediaan air adalah bagian dari manajemen daerah aliran sungai. Tentu hal ini memakan waktu lama, namun dalam pengertian sehari-hari, ketersediaan air bisa dilakukan secara taktis dan tepat guna dengan melakukan panen air hujan untuk ditampung dalam bak, membuat sumur resapan, embung-embung, dan di daerah tertentu juga dengan menangkap kabut.


Persediaan energi juga bisa diatur secara lokal. Lagi, air bisa berperan. Aliran air di sungai dan anakanak sungai bisa menyediakan listrik bertenaga air, biasa disebut sebagai mikro hidro. Energi bisa juga didapat secara lokal dengan memproses biomassa seperti dalam bentuk pellet, arang, dan lain-lain. Semuanya sudah dipraktikkan oleh para pegiat di bidang pertanian gaya baru ini, yang amat berlainan dengan pola bertani yang kita kenal. Para praktisi FEW in ONE terdiri dari kalangan beragam, mulai dari kaum perempuan, generasi muda, para akademisi di komunitas-komunitas lokal. Kegiatan pertanian pangan yang mereka lakukan amat beragam, serta bahasa yang digunakan para praktisi di atas juga berbeda kosa katanya dengan para petani konvensional. Mereka mempraktikkan dan berbicara tentang lokavora, permakultur, ekonomi sirkular, pertanian perkotaan (urban farming), terra preta, wanatani, dan agroekologi. Pengetahuan yang mereka peroleh antara lain didapat dari sisi baik hyper connectivity yang disebut pada awal artikel ini.


Hal yang juga menarik, bahwa motivasi para pelaku untuk mempraktikkan ketahanan pangan adalah untuk memenuhi kecukupan pangan sekeluarga, dan hanya menjual surplusnya. Banyak pelaku juga mendesain rantai pasok produksi pangan secara efisien dan ringkas, dengan daya jangkau lokal. Melihat fenomena ketahanan pangan dalam konteks perubahan iklim, bagaimanakah kita harus bersikap? Kita sedang melihat suatu pendekatan baru yang sedang bersemai dan terlihat belum lazim. Apa yang kita lihat dan belum lazim ini terjadi bersamaan dengan disrupsi dan destruksi dari institusi serta praktik yang mapan dan seakan telah berakar.


Oleh karenanya kita perlu memberi perhatian khusus terhadap pendekatan ketahanan pangan dan perubahan iklim yang belum lazim ini. Di tengah perubahan-perubahan besar yang terjadi, apa yang tidak lazim hari ini bisa menjelma menjadi kelaziman masa depan.


III. Ketahanan Pangan Berciri Industrial


Mengingat terjadinya bencana iklim global serta bahaya kelaparan yang terjadi di berbagai negara di dunia, ketahanan pangan yang dipandu oleh ketahanan iklim memerlukan berbagai pendekatan yang komplementer, saling melengkapi. Salah satunya adalah program food estate yang digulirkan pemerintah dewasa ini. Program ini merupakan replikasi dari Green Revolution era ’80-an lalu. Pendekatan ini memerlukan lahan pertanian yang luas dan dibatasi pada beberapa komoditi bahan pokok yang disebut staple foodstuff.


Pendekatan ini termasuk perlu, tapi tidak cukup. Sebabnya adalah lahan pertanian luas berpotensi meningkatkan emisi gas metana, yang justru harus ditekan volumenya demi penurunan gas rumah kaca. Luasan tanah yang digunakan lebih baik digunakan untuk reforestasi untuk menambah kapasitas penyerapan gas rumah kaca tersebut. Dengan demikian, perlu dicari optimasi food estate, apalagi jika tujuannya adalah ketahanan pangan, tidak semata kecukupan pangan.


Demikian juga rantai pasok distribusi pangan bisa saja menjadi panjang dan tidak efisien yang pada gilirannya juga akan boros transportasi. Dalam pendekatan ketahanan pangan berbasis ketahanan iklim, maka ikhtiar berbasis industri dapat mempertimbangkan pilihan industrial lainnya yaitu apa yang disebut vertical farming. Bangunan industrial maupun bangunan tingkat tinggi di perkotaan bisa digunakan tidak lagi untuk penyediaan jasa, manufaktur, maupun perdagangan, namun bisa diubah menjadi gedunggedung pertanian atau indoor farming. Praktik ini bagi Indonesia masih merupakan perintisan yang telah dimulai dan termasuk belum lazim. Tanaman hortikultura dibesarkan dalam gedung. Pencahayaan substitusi sinar matahari dirancang untuk disesuaikan dengan jenis tanaman yang dibudidayakan. Demikian juga nutrisi tanaman komposisinya disesuaikan untuk pertumbuhan yang optimum. Ketahanan pangan dan ketahanan iklim berbasis industrial sukses dipraktikkan oleh Belanda, yang telah menjelma menjadi pengekspor hortikultura terbesar kedua di dunia. Walaupun Belanda adalah negara kecil yang 2/3 wilayahnya berada di bawah permukaan laut.


Sebaliknya, Amerika Serikat yang pernah menjadi eksportir bahan pangan terbesar di dunia dengan menggunakan pendekatan industrial yang mengabaikan ketahanan iklim, sekarang mengalami kesulitan dalam mempertahankan produktivitas pertaniannya. Tidak mengherankan karena Amerika Serikat pernah menolak meratifikasi Protokol Kyoto tahun 1997 dan keluar dari Perjanjian Paris pada tahun 2016, serta setelah itu mendapatkan dirinya dalam posisi kagok dengan bergabung kembali dalam Konferensi Pelubahan Iklim ke-26 di Glasgow.


IV. Peran Pemerintah dalam Suasana VUCA


Yang dimaksud pemerintah di sini adalah cabang eksekutif, yaitu penyelenggara pemerintahan sehari-hari di tatanan nasional maupun berbagai tingkatan nasional yang dikelola oleh birokrasi. Tatanan pemerintah telah mengalami berbagai upaya reformasi birokrasi dalam berbagai gelombang untuk mewujudkan profesionalisme perbaikan pelayanan umum serta berbagai fungsi publik lainnya.


Harus dipahami bahwa upaya perbaikan kinerja pemerintahan tidak perlu diartikan sebagai perubahan karakter birokrasi yang pada dasarnya konservatif. Fungsi konservatif, ibarat rem dalam kendaraan, sangat diperlukan. Dengan demikian, fungsi konservatif birokrasi tidaklah berubah. Yang diperlukan adalah memperkaya orientasi kerja birokrasi supaya lebih peka terhadap kondisi VUCA dan berkontribusi untuk menciptakan solidaritas sosial. Hasrat perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat bisa diwadahi dengan dipandu juga oleh asas kehati-hatian, inklusivitas, dan empati seperti yang diperlihatkan oleh dukungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Komite Pemulihan Ekonomi Daerah (KPED).


Peran suportif dan empatik terhadap gerakan urban farming baru-baru ini diperlihatkan dengan penyelenggaraan ”Lomba Urban Farming” yang diikuti generasi muda. Pemihakan seperti di atas dapat berpengaruh baik menumpulkan goncangan VUCA dan dukungan selanjutnya akan menggulirkan gerakan sosial masif FEW in ONE berbasis masyarakat lokal. Tentu dukungan selanjutnya diharapkan untuk mengedepankan juga ketahanan pangan berciri industrial. Kedua pendekatan di atas mempunyai persamaan, yaitu pendekatan agroekologi.


V. Kesimpulan


Mewujudkan ketahanan pangan dalam konteks perubahan iklim berarti melaksanakan praktik agroekologi. Diperlukan konsistensi, keuletan, resiliensi, dan kreativitas dalam pelaksanaannya. Apapun wujud peradaban masa depan yang akan muncul nanti, ketahanan pangan berbasis ekologi dalam ragam bentuknya merupakan keharusan. ***

11 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


bottom of page